Tuesday, November 1, 2016

KH. Cholil Nafis: Ketika Bicara Agama dan Suku, Dikit-dikit Dituduh SARA!


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiF6aCBe9RyEDSBpfWNTWCjLVqfMJf2nIevJ69Ky2VW_hN6Wf9-qsn3-ND1hFihyphenhyphen-CEvg25CZOgwM0_fj_t4rayjpnLe6Sax1iPl_KS8Z3p_tRhofiiBsPTLFI_8_wXE3fb0iFMLRqaMNfH/s640/cholil+nafis.jpg

JAKARTA – Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Cholil Nafis saat menerima kunjungan Forum Jurnalis Muslim (Forjim) di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), belum lama ini menyatakan bahwa saat ini kita sedang perang persepsi, perang yang tidak menggunakan senjata.

Perang ini, menurut   KH Cholil Nafis, tidak mematikan secara fisik, yang dimatikan adalah pikirannya. Kebenaran yang kita yakini, belum tentu menurut orang lain benar. Inilah yang dsebut perang persepsi.

“Bicara ghirah keislaman, seakan tidak boleh menyampaikan yang kita anggap benar, karena belum tentu menurut orang lain benar. Ketika kita mulai takut menyampaikan kebenaran yang diyakini, inilah awal pendangkalan dan bagian dari perang persepsi,” kata KH. Cholil.

Dikatakan KH. Cholil, secara fisik, kita hidup. Tapi, ghirahnya mati. Lambat laun, orang tidak punya jiwa keagamaan yang kuat, karena ruh agamanya menjadi lemah.

Sama halnya, kita tidak boleh peduli dengan orang lain, terkait persolan HAM. Padahal ada hak asasi orang lain yang dilanggar. Sekarang, dikit-dikit SARA. Kita tidak boleh bicara suku, agama dan adat istiadat kita. Padahal yang dimaksud SARA adalah ketika melukai orang lain.

“Sesuatu yang lumrah, jika orang Sumatera ingin punya pemimpin orang Sumatera. Itu logis. Yang penting, jangan orang Sumatra menjelek-jelekkan orang Jawa dan suku lainnya. Itu yang tidak boleh,” kata KH. Cholil.

Menurut KH. Cholil Nafis, SARA yang dimaksud adalah agar orang tahu habitatnya dan tahu posisi dirinya, bahwa saya orang Madura, saya muslim, sehingga kita punya identitas.

 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-nAtxOSpyn6u9vAIjTHrtf3xav_lsc15xsoC-A5TZyYAvU_ESKzCmU7qu_YmoUDTcTdQfuLPeDvFzukneDWmHhyphenhyphenFejwjb4KdBzHOOoVAkRDMbWuWkfu7mrHztjInyXpDhO7JU16jd9qs/s1600/Ketua+Komisi+Dakwah+MUI+Pusat+Cholil+Nafis.jpg

“Yang nggak boleh adalah saya orang Madura, lalu menjelek-jelekkan orang Sumatera dan jawa. Saya orang Madura ingin punya pemimpin orang Madura, itu sah saja saja. Atau saya muslim, ingin dipimpin oleh seorang muslim.”

Begitu juga orang Kristen ingin dipimpin oleh orang Kristen, dan itu sah. Yang tidak boleh adalah, orang Islam menjelek-jelekkan Kristen dan Katolik atau sebaliknya. Tapi dalam rangka membangun bangsa, SARA dalam artian, saya orang Madura ingin punya pemimpin asal Madura, itu tidak masalah.

“Sekarang ini banyak yang over, dikit-dikit kalau ngomong agama dan suku dianggap SARA. Yang harus dipagari adalah jangan sampai perbedaan itu menjadi pangkal konflik. Tapi menghilangkan perbedaan yang asasi, itu mengingkari kenyataan. Dalam konteks kebangsaan, kita punya agama dan suku yang berbeda, tapi jangan saling berbenturan, dan saling menjelek-jelekkan,” papar kiai.

KH. Cholil menegaskan, menyembah Allah tidak boleh mencaci dan merendahkan orang yang menyembah selain Allah. Juga jangan mencaci tuhan-tuhan mereka, karena nanti mereka akan mencaci Tuhan kita.

“Kalau kita mencaci bapak mereka, maka mereka akan membalas mencaci bapak kita. Karena itu jangan mencaci maki dan menyombongkan diri.”

Kalau ada yang bertanya, apakah kita boleh bangga dengan suku kita? “Tentu kita boleh bangga dengan asal usul kita. Sebab, kalau kita tidak punya kebanggaan akan hampa. Yang tidak boleh adalah menyombongkan diri dan menistakan orang lain.”

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

No comments:

Post a Comment