Sunday, October 30, 2016

Makna Toleransi, Pilkada: Terima Kasih Umat Budha Tanjung Balai

Makna Toleransi, Pilkada: Terima Kasih Umat Budha Tanjung Balai

Oleh: DR Iswandi Syahputra, Peneliti Media dan Pengajar UIN Sunan Kalijaga

-------------------------------------------------

Beberapa waktu lalu pascakerusuhan, peristiwa penurunan patung Buddha Amitbha di vihara Tri Ratna Tanjung Balai. Pada satu sisi hal ini bisa dipahami keliru oleh orang dari planet siber sebaga aksi intoleran atau dominasi umat Islam terhadap umat Buddha sebagai minoritas di sana. Ini terjadi karena banyak yang 'tidak memahami' dan 'tidak mau memahami' dengan baik konteks dan sejarah patung tersebut diturunkan.





Agar tidak sesat pukir, maka kita bisa mulai mencerna kasus tersebut dari peristiwa kerusuhan di Tanjung Balai, 30 Juli lalu.

Secara singkat, kerusuhan tersebut dipicu oleh keberatan seorang warga dari etnis Tionghoa terhadap suara azan. Massa yang marah kemudian mensasar sejumlah vihara untuk dirusak. Dalam hitungan jam, sembilan vihara dirusak massa, termasuk vihara tempat patung Buddha itu berada. Menurut pemerintah, cepatnya pergerakan massa tersebut dipicu oleh postingan di media sosial. Argumen pemerintah ini yang bikin menarik minat saya untuk langsung terjun ke lapangan guna meneliti kebenarannya.

Setelah menyusun desain riset, sepekan kemudian, 8 Agustus saya sudah berada di Tanjung Balai untuk mengumpulkan data riset. Dari sejumlah narasumber terpilih dan kompeten yang saya wawancarai diperoleh informasi bahwa:

1) Sepanjang sejarah kehidupan sosial-keagamaan di Tanjung Balai tidak ada catatan konflik berbasis agama.

2) Hingga patung Buddha tersebut dibangun dan berdiri kokoh di puncak vihara seperti terlihat dalam gambar.

3) Keberadaan patung (dalam pengertian sejarah hadirnya patung dan posisinya, bukan fisik patungnya) di atas Vihara tersebut yang menjadi sumber masalah karena.

Mengapa? Hal ini karena:

- Patung didirikan di atas vihara di tanah hasil reklamasi sungai yang dianggap masyarakat masih bermasalah.

- Vihara berada di sebelah bangunan 'Balai' sebagai simbol sejarah kota Tanjung Balai.

- Bagi umat Islam di Tanjung Balai, ini yang terpenting, secara imajiner posisi patung pararel dengan arah Kiblat, arah dimana umat Islam menghadap saat beribadah sholat. 

Sehingga, ada semacam suasana kebatinan, jika umat Islam shalat seolah menghadap atau menyembah patung Buddha. Untuk memahami suasana kebatinan ini perlu membaca sejarah bagaimana relasi Islam dengan patung sebagai berhala pada masa Nabi Ibrahim As dan Muhammad Saw. Sehingga sejak awal umat Islam hanya meminta posisi patung tersebut dipindah, bukan dihancurkan. Atau diubah arahnya, tidak pararel mengarah ke Kiblat. 


Namun, menurut keyakinan Tionghoa, patung tersebut memang pada posisi seperti itu. Dalam demikian, pendapat mana yang mau diikuti? Lantas, mengapa patung tersebut tetap berada pada posisi yang diinginkan umat Buddha?

4) Saya melihat, ini bentuk toleransi umat Islam Tanjung Balai. Mereka mayoritas dan punya sejarah panjang terhadap pendirian kota Tanjung Balai, tetapi mereka bisa menerima praktek keyakinan umat Buddha sebagai minoritas. Tapi, toleransi itu juga menjadi hal laten. Sebab ada faktor lain yang menjadikan kasus ini agak pelik.

5) Pendirian vihara dan patung tersebut belakangan dinilai bagian dari kompromi dan bargaining dalam Pilkada sebelumnya. Sebagai kelompok elit ekonomi, tentu minoritas umat Buddha di sana menjadi incaran para kandidat Pilkada untuk diajak kolaborasi. Tidak hanya itu, bagi yang tau kota Tanjung Balai, jumlah vihara sangat banyak dan berdekatan yang menurut saya tidak sesuai dengan rasio jumlah umat Buddha di sana.

Singkatnya, ijin mendirikan vihara dan patung Buddha diberikan karena menurut sumber saya, ada aroma kompesasional menjelang Pilkada. Dalam kondisi demikian, umat Islam masih bisa toleran. Menurut saya, ini toleransi tingkat tinggi. Bandingkan dengan perlakuan umat lain terhadap Islam di Singapura, Thailand, Cina atau negara Eropa.

6) Hingga muncullah peristiwa keberatan seorang dari etnis Tionghoa terhadap suara azan. Sepertinya ini menjadi ambang akhir toleransi umat Islam di Tanjung Balai.

7) Dengan latar demikian, tidak sulit bagi umat Islam di sana mengkonsolidasi mencari simbol yang mereka nilai telah memanfaatkan toleransi yang diberi.

8) Sehingga, posisi patung Buddha tetap dapat menjadi ancaman laten bagi kerukunan umat beragama di sana. Umat Islam cuma meminta posisi patung diubah/dipindah. Persoalan ijin tanah, bangunan vihara dekat dengan 'Balai' dianggap urusan negara. Tapi soal keyakinan, ini domain agama.

Alhasil, perpindahan posisi patung tersebut menurut saya bentuk nyata toleransi antar umat beragama. Kita yang tidak memahami masalah, sebaiknya jangan mudah mendramatisasi peristiwa, seolah umat Islam tidak toleran.

Jangan ajari Islam soal toleransi, sebab umat Islam sangat paham bagaimana saat menjadi mayoritas dan harus bersikap seperti apa saat menjadi minoritas.

Di Eropa Islam minoritas, banyak negara melarang kumandang suara azan, para wanitanya dilarang berjilbab atau bercadar dan burkini, mendirikan mesjid juga sulit, tapi umat muslim sebagai minoritas paham betul ajaran mana yang akan digunakan saat posisinya sebagai minoritas. Sebab kekayaan mazhab paham keagamaan sangat membantu bagi umat muslim.

Indonesia ditakdirkan menjadi negara Bhinneka Tinggal Ika. Terima kasih umat Buddha Tanjung Balai yang telah berhasil hidup harmonis, damai dan toleran dengan umat lain terutama umat Islam sebagai mayoritas.

Bagi mayoritas, melindungi minoritas itu kewajiban. Tapi terus menerus melemahkan dan memojokkan mayoritas itu kebodohan...!

Damai di langit, turun ke bumi bersemayam dalam hati. Berdamailah dengan hati kita masing-masing. Jangan mudah terprovokasi.

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

No comments:

Post a Comment