Tuesday, October 25, 2016

Siapa Bilang Auliyâ’ Bermakna Pemimpin?

Lembaran manuskrip Al Quran kuno yang disimpan di perpustakaan Universitas Birmingham Inggris. Analisis radiokarbon yang dilakukan Unit Akseerator Radiokarbon Universitas Oxford menunjukkan Al Quran ini berusia sekitar 1.370 tahun. (Foto: Telegraph) 
Oleh Tubagus Kesa Purwasandy, S.Hum *

Ngelmu.com - Kata auliyâ’ merupakan bentuk jamak dari kata walî. Apakah kata walî selalu bermakna pemimpin? Nyatanya tidak.

Kata walî dapat bermakna orang yang mengurus atau menguasai suatu perkara (dari sinilah kata walî dengan arti pemimpin muncul), penolong, pecinta, teman dekat, sekutu, kerabat, tetangga, pengikut, dan orang yang membebaskan hamba sahaya. Terkadang kata walî ini digantikan dengan kata maulâ dengan makna yang sama.

Silahkan lihat makna-makna ini di dalam kamus-kamus otoritatif bahasa arab, seperti Lisân al-`Arab, Tâj al-`Arûs, ash-Shihâh, Maqâyîs al-Lughah, al-Mu`jam al-Wasîth, dan lain-lain.

Pertanyaannya, makna manakah yang digunakan dalam surah al-Mâ’idah ayat 51? Tentu kita tidak dapat memilih makna ini dengan sembarangan, apalagi ketika dikaitkan dengan al-Qur’an. Cara paling selamat dalam memahami ayat ini adalah dengan merujuk kepada para ahli tafsir.

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menuturkan, “Allah Tabâraka wa Ta`âlâ melarang para hamba-Nya yang beriman dari menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai sahabat. Sebab, mereka adalah musuh Islam dan pemeluknya. Semoga Allah menghancurkan mereka. Kemudian Dia mengabarkan bahwa mereka -Yahudi dan Nasrani- saling bersahabat. Dia mengancam dan memperingatkan orang yang tetap berbuat demikian dengan firman-Nya, Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka auliyâ’, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka... (al-Mâ’idah [5]: 51).”

Setelah itu, Ibnu Katsîr memaparkan kisah tentang `Umar bin al-Khaththâb ra yang memerintahkan Abû Mûsâ al-Asy`ari untuk memecat budak Nasrani yang dia jadikan sebagai sekretaris. `Umar berhujjah dengan ayat, Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kau menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliyâ’(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Siapa di antara kamu menjadikan mereka auliyâ’, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka... (al-Mâ’idah [5]: 51).

Ibnu Katsîr juga memaparkan ucapan Muhammad bin Sîrîn, “`Abdullâh bin `Utbah berkata, ‘Waspadalah salah seorang dari kalian jangan sampai menjadi seorang Yahudi atau Nasrani tanpa sadar.’ Yang dia maksud adalah ayat ini, Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka auliyâ’, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka... (al-Mâ’idah [5]: 51).”

Sedangkan Imam as-Suyûthî dalam tafsirnya memaparkan beberapa riwayat yang menjadi latar belakang turunnya ayat ini. Di antaranya adalah peristiwa yang terjadi antara `Ubâdah bin ash-Shâmit dan `Abdullâh bin Ubay bin Salûl. `Ubâdah berkata kepada Rasulullâh, “Wahai Rasulullâh, sungguh para sekutuku dari kalangan Yahudi itu sangat kuat, memiliki banyak senjata, dan mereka tangguh. Tapi sungguh aku berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari menjadikan mereka sekutu. Tidak ada penolong bagiku kecuali Allah dan Rasul-Nya.” Namun `Abdullâh bin Ubay berkata, “Tapi aku tidak berlepas diri dari bersekutu dengan orang-orang Yahudi. Sebab, aku membutuhkan mereka.” Kemudian turunlah ayat ini.

Riwayat lainnya adalah kisah tentang dua orang sahabat Rasulullâh Saw. Setelah terjadi perang Uhud, sebagian kelompok orang merasa terpukul. Mereka takut orang-orang kafir mengalahkan mereka. Lantas seseorang berkata kepada kawannya, “Aku akan pergi kepada si fulan orang Yahudi. Lalu aku meminta jaminan keamanan kepadanya dan berperilaku Yahudi bersamanya. Sebab, aku takut orang-orang Yahudi mengalahkan kita.”

Sedangkan kawannya berkata, “Adapun aku akan pergi kepada si fulan orang Nasrani di negeri Syam. Lalu meminta jaminan keamanan kepadanya dan berperilaku Nasrani bersamanya.” Lalu Allah Ta`âlâ melarang keduanya dengan firman-Nya ini.

Dalam at-Tafsîr al-Wasîth, kata auliyâ’ ditafsirkan sebagai ahbâb (para pecinta), ashdiqâ’ (kawan-kawan), dan nusharâ’ (para penolong). Lalu ayat, Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kau menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliyâ’(mu)... ditafsirkan dengan, “Yaitu janganlah salah seorang kalian menjadikan salah seorang dari mereka sebagai kawan yang dijadikan sandaran, tempat meminta bantuan, berkasih sayang, dan bergaul dengan mereka sebagai teman dekat.”

Penafsiran seperti ini dapat juga dilihat dalam tafsir as-Sa`dî, al-Baghawî, al-Qurthubî, ath-Thabarî, dan lain-lain.

Dapat disimpulkan, surah al-Mâ’idah ayat 51 itu berbicara tentang larangan menjadikan orang non muslim sebagai sekutu, penolong, pembela, kawan dekat, dan kata lainnya yang semakna. Dapat dilihat juga bahwa ayat tersebut tidak ada kaitan secara langsung dengan haramnya pemimpin non muslim. Sehingga tepat jika kata auliyâ’ dalam ayat ini diterjemahkan sebagai teman setia, bukan pemimpin. Mengapa? Karena konteks ayat tersebut memang demikian.
Tulisan Al-Quran yang disimpan di Universitas Birmingham Inggris ini digoreskan pada kulit domba atau kambing. Panjangnya hanya sekitar dua halaman folio dan merupakan potongan surat ke-18 dan ke-20. Penulisan mushaf Alquran ini diperkirakan dilakukan antara 568 dan 645 Masehi sedangkan Nabi Muhammad SAW hidup pada 570 hingga 632 Masehi (Foto: Telegraph)
Namun demikian, ini bukan berarti memilih pemimpin non muslim menjadi boleh. Memilih pemimpin non muslim tetap haram. Mengapa?

Mari kita lihat pemahaman sahabat dalam memahami ayat tersebut:

Abu Musa al-Asy`ari mengisahkan, “Aku berkata kepada `Umar ra., ‘Aku memiliki seorang sekretaris beragama Nasrani.’ `Umar berkata, ‘Mengapa kamu ini? Celaka kamu! Tidakkah kamu mendengar firman Allah, Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman auliyâ’(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Siapa di antara kamu menjadikan mereka auliyâ’, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka...? Jadikanlah orang hanif -muslim- (sebagai sekretaris).’

Namun aku berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, kita membutuhkan kemampuan menulisnya. Agamanya tetap menjadi miliknya.’ `Umar menjawab, ‘Aku tidak akan memuliakan mereka karena Allah telah menghinakan mereka. Aku tidak akan mengangkat mereka karena Allah telah merendahkan mereka. Dan aku tidak akan mendekatkan mereka karena Allah telah menjauhkan mereka.’”

Para gubernur mengirim surat kepada `Umar untuk meminta pendapatnya tentang mempekerjakan orang-orang kafir. Mereka menulis, “Harta telah menjadi banyak. Dan tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali mereka (orang-orang kafir). Sampaikanlah bagaimana pendapatmu.”

`Umar membalas, “Jangan masukkan mereka ke dalam ranah agama kalian. Jangan kalian serahkan kepada mereka sesuatu yang Allah larang untuk mereka dapatkan. Jangan percayakan harta kalian kepada mereka. Dan hendaklah kalian belajar menulis karena menulis adalah keistimewaan orang-orang.”

`Umar juga menulis kepada para gubernurnya, “Ammâ ba`du: Siapa saja yang memiliki sekretaris dari kalangan musyrikin, janganlah dia berhubungan dengannya, janganlah meminta pertolongan kepadanya, janganlah duduk-duduk bersamanya, dan janganlah meminta pendapatnya. Sebab, Rasulullah Saw tidak pernah memerintahkan untuk mempekerjakan mereka. Khalifah setelahnya (Abu Bakar) pun tidak pernah seperti itu.”

`Umar berkata kepada budaknya yang beragama Nasrani, “Masuk Islamlah agar kami bisa meminta bantuanmu untuk mengurus urusan-urusan kaum muslim. Sebab kami tidak boleh meminta bantuan untuk mengurus urusan mereka dari orang selain mereka.” Namun budaknya itu menolak. `Umar pun memerdekakannya dan berkata, “Pergilah ke mana saja kau mau!”

Riwayat-riwayat `Umar ini dapat dilihat secara lengkap dalam tafsir Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Bahkan Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa para khalifah terpuji lainnya pun memiliki pandangan sama dengan `Umar bin al-Khaththab ra. Di antara mereka adalah `Umar bin `Abdil `Azîz, al-Manshûr, Hârûn ar-Rasyîd, al-Mahdî, al-Ma’mûn, al-Mutawakkil, dan al-Muqtadir.

Dari cara `Umar memahami ayat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa, “Menjadikan non muslim sebagai sekutu, teman setia dan penolong pun tidak boleh, apalagi menjadikan mereka sebagai pemangku jabatan dalam negara.”

Perlu diketahui, bahwa saat itu Abû Mûsâ adalah gubernur Bashrah. Sehingga, orang Nasrani yang `Umar perintahkan untuk dipecat itu adalah sekretaris gubernur. Jika menjadi sekretaris gubernur saja tidak boleh, apalagi menjadi pemimpin. 

Jadi, kata auliyâ’ dengan makna teman setia dalam al-Mâ’idah 51 memang sudah tepat. Yang tidak tepat adalah sikap orang-orang yang menganggap bahwa jika dalam mushaf terjemahan tertulis bahwa kata auliyâ’ itu tidak bermakna pemimpin maka mushaf terjemahan itu palsu dan sudah diselewengkan.

Tulisan ini bertujuan meluruskan pemahaman sebagian orang terhadap pemaknaan kata auliyâ’, bukan untuk memaparkan dalil tentang haramnya menjadikan non muslim sebagai pemimpin. Sebab, penjelasan tentang hal ini memerlukan pembahasan yang lebih panjang kerena banyaknya dalil dan pandangan ulama yang mengharamkan. Meski demikian, dari satu ayat ini pun sudah dapat disimpulkan keharaman menjadikan non muslim sebagai pemimpin umat muslim.

* Penulis adalah seorang editor, penerjemah, pecinta Bahasa Arab, dan pemburu beasiswa.

Daftar Bacaan:

`Abdurrahmân as-Sa`dî, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, Riyadh: Dâr as-Salâm, 2002.

`Alî al-Hamd al-Muhammad ash-Shâlihî, Adh-Dhau’ al-Munîr `alâ at-Tafsîr, Unaizah: Mu’assasah an-Nûr, jilid II, tt.

Abû al-Fidâ’ bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-`Azhîm, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, jilid III, 1998.

Abû Muhammad al-Baghawî, Tafsîr al-Baghawî: Ma`âlim at-Tanzîl, Riyadh: Dâr Thaibah, jilid III, 1989.

Ahmad bin Fâris, Maqâyîs al-Lughah, jilid VI, Dâr al-Fikr, 1979.

Abû Ja`far ath-Thabarî, Jâmi` al-Bayân `an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, Kairo: Maktabah Ibni Taimiyyah, jilid X, tt.

Ibnu Manzhûr, Lisân al-`Arab, Kairo: Dâr al-Ma`ârif, tt.

Ismâ`îl bin Ahmad al-Jauharî, ash-Shihâh, Beirut: Dâr al-`Ilm li al-Malâyîn, jilid VI, cet. Ke-3, 1984.

Jalâluddin as-Suyûthî, Ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr, Kairo: Markaz li al-Buhûts, jilid V, 2003.

Lajnah min al-`Ulamâ’, at-Tafsîr al-Wasîth li al-Qur’ân al-Karîm, Majma` al-Buhûts al-Islâmiyyah, tt.

Majma` al-Lughah, al-Mu`jam al-Wasîth, Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, cet. Ke-5, 2011.
Muhammad bin Ahmad al-Qurthubî, Al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasah ar-Risâlah, jilid VIII, 2006.

Murtadhâ Al-Husaini az-Zabîdi, Tâj al-`Arûs, Mathba`ah Hukumah al-Kuwait, jilid XL, cet. Ke-1, 2001.

Wahbah az-Zuhailî, at-Tafsîr al-Munîr: fî al-`Aqîdah wa asy-Syarî`ah wa al-Manhaj, Damaskus: Dâr al-Fikr, jilid III,  2003.
 

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

No comments:

Post a Comment